Menjauhi Perbuatan Yang Meresahkan
┏📚🍃━━━━━━━━━┓
*Kajian Islam*
┗━━━━━━━━━🖊✉️┛
بسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kebajikan ialah berakhlak baik, yakni berupa luas hati,
lapang dada, berhati tenang, bermuamalah dengan baik. Jika manusia berakhlak
baik bersama Alloh dan bersama sesama manusia, maka ia mendapatkan balasan
kebaikan yang banyak, dadanya menjadi lapang untuk Islam, hatinya menjadi
tentram dengan iman, dan mempergauli manusia dengan akhlak yang baik.
Sebaliknya, dosa adalah sesuatu yang membimbangkan di hati. Yaitu sesuatu yang
menimbulkan kebimbangan dan memunculkan keraguan pada dirinya serta membuat
jiwanya tidak merasa aman, maka sesuatu itu adalah dosa. Bahkan sesuatu itu
juga tidak disukai bila orang lain mengetahuinya.
Adapun orang fasik, dosa yang dilakukan itu tidak
membimbangkan jiwa mereka dan tidak benci bila manusia melihatnya, bahkan
sebagian dari mereka bangga dan menceritakan apa yang mereka perbuat berupa
kedurhakaan dan kefasikan. Tetapi pembicaraan di sini tentang orang sholih.
Karena ketika dia hendak melakukan keburukan, maka hal itu membimbangkan dalam
dirinya, dan ia tidak suka bila orang-orang melihatnya. Timbangan yang
disebutkan oleh Nabi ini hanyalah berlaku bagi ahli kebajikan dan keshalihan.
Begitu juga, Orang Mukmin tidak suka bila orang lain melihat aib-aibnya,
berbeda dengan orang durhaka yang tidak peduli; karena ia tidak peduli jika
orang-orang melihat aib-aibnya.
Di hadis yang lain, Nabi
ditanya tentang kebaikan dengan bersabda, Mintalah fatwa kepada hatimu.
Artinya, jangan bertanya kepada seseorang dulu, tapi bertanyalah pada hatinya.
Kebajikan ialah apa yang membuat jiwa dan hati merasa tentram. Selama seorang
menjumpai jiwanya merasa tentram dan hatinya merasa tentram kepada sesuatu,
maka ini adalah kebajikan, maka kerjakanlah.
Nabi juga menegaskan
dengan bersabda, "Meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan
memberikan fatwa lagi kepadamu". Yakni, walaupun manusia memberi fatwa
kepadamu bahwa itu tidak dosa dan mereka memberimu fatwa berkali-kali. Tetapi
tetap muncul rasa bimbang dan malu diketahui orang lain.
Manusia semestinya memperhatikan apa yang terdapat dalam
jiwanya, bukan apa yang difatwakan oleh orang lain. Sebab, kadangkala yang
memberikan fatwa kepadanya adalah orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
Sehingga ia masih bimbang. Maka hal semacam ini, ia tidak merujuk kepada fatwa
manusia kepadanya, tetapi ia merujuk kepada apa yang ada padanya.
0 komentar